Aturan Jamak Shalat
Bismillahirrahmanirrahim…
Perkenankan kami berbagi
Aturan menjamak shalat
Islam merupakan agama yang sangat toleran dan banyak memberikan kemudahan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian suatu kesempitan dalam agama..” (QS. al-Hajj: 78)
Dan itu bagian dari ciri syariat yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
“Aku diutus dengan membawa ajaran hanifiyah (tauhid) yang banyak kelonggaran.” (HR. Ahmad 22291)
Termasuk diantara kelonggaran itu adalah adanya aturan fiqh yang berlaku bagi orang yang memiliki udzur. seperti menjamak 2 shalat.
Pada asalnya, shalat 5 waktu harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang ditetapkan.
Allah berfirman,
فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat merupakan kewajiban bagi mukmin yang telah ditetapkan waktunya.” (QS. an-Nisa: 103)
Untuk itu, mengerjakan shalat sebelum masuk waktunya statusnya batal. Sebagaimana mengerjakan shalat setelah berakhir waktunya, statusnya juga batal.
Akan tetapi, sebagai bagian dari keringanan syariat, bagi orang yang memiliki udzur, ada aturan tersendiri sehingga dia dibolehkan untuk mengerjakan shalat di luar waktunya dengan cara dijamak.
Pengertian Jamak Shalat
Secara bahasa, kata jamak [الجَـمْـعُ] artinya menggabungkan. Disebut jamak shalat karena menggabungkan pelaksanaan dua shalat di salah satu waktunya.
Apa beda jamak dengan qashar?
Jamak dengan qashar adalah 2 istilah yang berbeda.
(a) Menjamak shalat berarti menggabungkan pelaksanaan dua shalat di salah satu waktunya.
Dan ini bisa dilakukan baik ketika safar maupun ketika sedang mukim selama ada udzur syar’i.
(b) Sementara qashar shalat adalah mengerjakan shalat 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
Dan ini hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang safar. Sementara orang yang mukim tidak boleh qashar, meskipun ada udzur sakit atau hujan.
Aturan Jamak Shalat
Ada beberapa aturan untuk shalat jamak,
[1] Jamak shalat hanya boleh dilakukan jika ada udzur yang dibenarkan syariat. Karena pada asalnya setiap shalat 5 waktu harus dikerjakan sesuai waktunya.
Allah berfirman,
فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat merupakan kewajiban bagi mukmin yang telah ditetapkan waktunya.” (QS. an-Nisa: 103)
InsyaaAllah akan disebutkan beberapa udzur yang membolehkan seseorang untuk menjamak shalat.
[2] Shalat jamak hanya berlaku untuk 2 pasangan shalat, yaitu:
Pertama, dzuhur dengan asar
Kedua, maghrib dengan isya.
Sedangkan shalat subuh tidak bisa dijamak dengan shalat apapun.
[3] Dilihat dari waktu pelaksanaannya, menjamak shalat ada 2 macam:
Pertama, menjamak shalat di waktu shalat yang pertama, seperti jamak shalat dzuhur dengan asar di waktu dzuhur. Jamak seperti ini disebut jamak taqdim.
Kedua, menjamak shalat di waktu shalat yang kedua, seperti jamak shalat maghrib dengan isya di waktu isya. Jamak seperti ini disebut dengan jamak takkhir.
[4] Untuk jamak takhir, pelaksanaan shalat harus dilakukan secara berurutan sesuai urutan shalat
Misalnya, menjamak shalat dzuhur dan asar di waktu asar, cara melaksanakannya harus dilakukan shalat dzuhur dulu, kemudian shalat asar. Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
يشترط الترتيب بأن يبدأ بالأولى ثم بالثانية ؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلّم قال : ( صلوا كما رأيتموني أصلي ) ، ولأن الشرع جاء بترتيب الأوقات في الصلوات
Disyaratkan menjamak shalat sesuai urutan. Dengan melakukan shalat urutan pertama, kemudian shalat urutan kedua. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.” Disamping itu, syariat telah menjelaskan urutan waktu-waktu shalat. (as-Syarh al-Mumti’, 4/401)
[5] Tidak ada shalat rawatib antar-shalat wajib yang dijamak
Jabir radhiyallahu ‘anhu menceritakan aktivitas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’.
Jabir mengatakan seusai Nabi berkhutbah,
ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Kemudian dikumandangkan adzan, kemudian iqamah lalu beliau shalat dzuhur. Kemudian iqamah, lalu shalat asar. Dan beliau tidak melakukan shalat sunah diantaranya. (HR. Muslim 3009)
[6] Apakah jamak harus dilakukan secara muwalah (berkesinambungan) dalam arti tidak ada jeda?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
Menurut jumhur ulama, tidak boleh ada jeda, sehingga harus ber-kesinambungan. Kecuali jeda yang hanya sebentar, seperti jeda untuk iqamah atau merapikan shaf.
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan,
يشترط الموالاة بأن لا يطول بينهما فصل؛ لأنه المأثور، ولهذا تركت الرواتب بينهما. فإن طال الفصل بينهما ولو بعذر كجنون: وجب تأخير الثانية إلى وقتها؛ لزوال رابطة الجمع
Disyaratkan muwalah ketika jamak, dengan tidak memberikan jeda panjang diantara kedua shalat yang dijamak. Karena inilah sesuai riwayat. Karena itu, ditiadakan shalat rawatib diantara shalat yang dijamak. Jika jedanya panjang, meskipun ada udzur, seperti jeda gila, maka untuk shalat kedua harus ditunda sampai waktunya. Karena ikatan jamak sudah tidak berlaku. (Tuhfah al-Muhtaj, 9/44)
Sementara sebagian ulama Syafi’iyah membolehkan adanya jeda yang lama ketika jamak shalat. Selama waktu shalat pertama belum habis. Dan pendapat ini juga dinilai lebih kuat oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dalam Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah menjelaskan,
والصحيح أنه لا تشترط الموالاة بحال لا في وقت الأولى ولا في وقت الثانية ؛ فإنه ليس لذلك حد في الشرع ولأن مراعاة ذلك يسقط مقصود الرخصة
Yang benar, sama sekali tidak disyaratkan muwalah. Baik jamak taqdim maupun jamak takkhir. Karena tidak ada batasan syariat dalam masalah ini. Karena jika harus disyaratkan muwalah, akan menghilangkan status rukhshah dalam jamak shalat. (Majmu’ al-Fatawa, 24/54)
Udzur Menjamak Shalat
Menjamak shalat hanya dibolehkan jika ada udzur. Jika tidak ada udzur, semua shalat 5 waktu wajib dikerjakan sesuai waktu yang ditetapkan.
Diantara kondisi bolehnya menjamak shalat adalah,
[1] Jamak ketika wukuf di Arafah
Jabir radhiyallahu ‘anhu menceritakan aktivitas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’.
Sesampainya beliau di lembah Arafah, beliau berkhutbah kemudian dikumandangkan adzan, kemudian iqamah lalu beliau shalat dzuhur. Kemudian iqamah, lalu shalat asar. Dan beliau tidak melakukan shalat sunah diantaranya. (HR. Muslim 3009)
[2] Jamak ketika di Muzdalifah
Jabir radhiyallahu ‘anhu melanjutkan ceritanya,
حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Beliau mendatangi Muzdalifah, lalu shalat maghrib dan isya dengan sekali adzan dan 2 iqamah. Dan beliau tidak melakukan shalat sunah diantaranya. (HR. Muslim 3009)
[3] Jamak karena safar
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang di perjalanan saat safar, beliau menjamak shalat.
Ibnu Abbas menceritakan,
كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يجمع بين صلاة الظهر والعصر، إذا كان على ظهر سير، ويجمع بين المغرب والعشاء
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dzuhur dan asar, apabila beliau sedang musafir sair. Beliau juga menjamak shalat maghrib dan isya’. (HR. Bukhari 1107)
InsyaaAllah akan dijelaskan lebih rinci tentang ini.
[4] Jamak karena sakit
Orang sakit yang butuh banyak istirahat, dibolehkan untuk menjamak shalat.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ. فَقِيلَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ قَالَ أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dzuhur dengan asar dan menjamak maghrib dengan isya di Madinah, bukan karena takut ancaman musuh bukan pula karena hujan.
Lalu Ibnu Abbas ditanya, “Apa maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu?”
Jawab Ibnu Abbas, “Beliau ingin agar tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim 1667 & Abu Daud 1213).
Imam an-Nawawi mengatakan,
ومنهم من قال: هو محمول على الجمع بعذر المرض أو نحوه مما هو في معناه من الأعذار
Diantara ulama ada yang mengatakan, hadis ini dipahami sebagai bentuk menjamak shalat karena udzur sakit atau udzur yang lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 5/218)
[5] Jamak karena hujan yang memberatkan jamaah
Memberatkan jamaah karena hujan ada banyak bentuk, seperti memberatkan mereka untuk bolak-balik ke masjid karena hujan, atau karena becek atau cuaca yang dingin, dst.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ. فَقِيلَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ قَالَ أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dzuhur dengan asar dan menjamak maghrib dengan isya di Madinah, bukan karena takut ancaman musuh bukan pula karena hujan.
Lalu Ibnu Abbas ditanya, “Apa maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu?”
Jawab Ibnu Abbas, “Beliau ingin agar tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim 1667 & Abu Daud 1213).
Hadis ini menunjukkan bahwa menjamak shalat karena hujan, sudah menjadi hal yang makruf di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. karena itulah disinggung oleh Ibnu Abbas.
Syaikhul Islam mengatakan,
والجمع الذي ذكره ابن عباس لم يكن بهذا ولا هذا، وبهذا استدل أحمد به على الجمع لهذه الأمور بطريق الأولى
Jamak seperti yang disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas, bukan karena alasan hujan atau alasan takut. Berdasarkan hadis ini, Imam Ahmad mengatakan bahwa menjamak shalat disebabkan hujan atau takut tentu lebih dibolehkan. (Majmu’ Fatawa, 24/76).
[6] Jamak karena jalanan sangat becek atau angin kencang
Diriwayatkan bahwa mu’adzin Ibnu Abbas mengumandangkan adzan pada hari jumat musim hujan. Lalu Muadzin mengumandangkan, “Sholluu fii rihaalikum” (Shalatlah kalian di kediaman kalian).
Ibnu Abbas menjelaskan sebabnya,
وكرهت أن تمشوا في الدحض والزلل
Aku tidak suka kalian berjalan di becek dan lumpur. (HR. Muslim 699)
Dan semua udzur yang membolehkan untuk tidak shalat jamaah, termasuk udzur untuk manjamak shalat.
3 (Tiga) Keadaan Jamak Shalat ketika Safar
Orang yang safar ada 2 keadaan:
- Musafir Sair adalah musafir yang masih di perjalanan, baik berangkat maupun ketika kembali pulang.
- Musafir Nazil adalah musafir yang singgah di suatu tempat hingga urusannya selesai.
Berdasarkan hal ini, para ulama menyebutkan bahwa aturan jamak bagi musafir ada 3 keadaan:
[Pertama] Ketika musafir sedang di perjalanan saat waktu shalat yang pertama, dan akan tidak di tempat tujuan saat waktu shalat yang kedua, maka disyariatkan baginya untuk melakukan jamak takkhir.
Misalnya:
si A berada di atas kereta saat Dzuhur dan tiba di stasiun tujuan ketika waktu asar, maka disyariatkan bagi si A untuk melakukan jamak takkhir, yaitu menjamak Dzuhur dan Asar di waktu Asar.
[Kedua] Ketika musafir dalam kondisi sedang singgah saat waktu shalat pertama, dan akan melakukan perjalanan saat waktu shalat kedua, maka disyariatkan baginya untuk melakukan jamak taqdim.
Misalnya:
Si B berada di bandara saat masuk waktu Maghrib. Dan waktu boarding pesawat 1 jam lagi, maka disyariatkan bagi si B untuk melakukan jamak taqdim, yaitu menjamak Maghrib dan Isya di waktu Maghrib.
[Ketiga] Ketika musafir dalam kondisi nazil (tidak diperjalanan) selama rentang kedua waktu shalat atau lebih. Umumnya yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjamak shalat. Namun yang beliau mengerjakan shalat sesuai waktunya dengan cara diqashar.
Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau di Mina saat haji. Beliau berada di Mina selama 3 hari di tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, dan beliau melaksanakan shalat wajib sesuai waktunya dengan diqashar.
Namun terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjamak shalat, meskipun beliau singgah selama beberapa hari. Sebagaimana yang beliau lakukan ketika di Tabuk.
Muadz bin Jabal menceritakan,
أَنَّهُمْ خَرَجُوا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْمَعُ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فَأَخَّرَ الصَّلاَةَ يَوْمًا ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ دَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا
Para sahabat berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat perang Tabuk. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak Dzuhur dengan Asar dan Maghrib dengan Isya. Terkadang beliau mengakhirkan shalat, kemudian beliau keluar tenda lalu shalat Dzuhur dan Asar dengan dijamak. Kemudian beliau masuk tenda. Kemudian beliau keluar lagi dan Maghrib dengan Isya dijamak. (HR. Nasai 594, Abu Daud 1208 dan dishahihkan al-Albani)
Shalat Rawatib ketika Jamak
Bagi orang yang melakukan jamak ketika sedang mukim, tetap disyariatkan untuk melakukan shalat rawatib.
Tata caranya dijelaskan oleh al-Qadhi Zakariya al-Anshari – salah satu ulama Syafiiyah –:
وإن جمع تقديما بل أو تأخيرا في الظهر والعصر صلى سنة الظهر التي قبلها ثم الفريضتين الظهر ثم العصر ثم باقي السنن مرتبة أي سنة الظهر التي بعدها ثم سنة العصر
Jika ada orang yang melakukan jamak taqdim atau ta’khir untuk shalat dzuhur dan asar, maka yang dia lakukan adalah shalat sunah qabliyah dzuhur, kemudian menjamak shalat wajibnya, yaitu dzuhur dan asar, kemudian shalat sunah rawatib lainnya secara berurutan, yaitu shalat sunah bakdiyah dzuhur, kemudian sunah qabliyah asar.
Al-Qadhi Zakariya melanjutkan keterangannya,
وفي المغرب والعشاء يصلي الفريضتين ثم السنن مرتبة سنة المغرب ثم سنة العشاء ثم الوتر
Untuk maghrib dan isya, dia kerjakan shalat maghrib dan isya, kemudian shalat sunah setelahnya secara berurutan, shalat sunah bakdiyah maghrib, kemudian sunah bakdiyah isya, kemudian witir. (Asna al-Mathalib, 1/245)
Demikian,
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan bisa kita jadikan bekal dalam memahami syariat menjamak shalat.
Allahu a’lam